Uang Kertas
dalam Tinjauan Fiqih
Mengingat sedemikian sedikitnya manusia pada masa-masa sekarang ini
bertransaksi dengan mata uang “emas dan perak”, dan sebagai gantinya mereka
bertransaksi dengan mata uang kertas yang dikenal dengan “uang kertas yang
dikeluarkan pihak bank”, maka timbul persoalan di kalangan fuqaha tentang
“hakikat uang kertas dalam tinjauan fiqih”. Para ulama telah menetapkan
beberapa hunkum untuk jenis uang ini, berdasarkan tinjauan dan pembagian yang
mereka lakukan terhadap uang-uang tersebut.
Abu
Malik penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah mengumpulkan menjadi lima pendapat
ulama dalam masalah ini :
1.
Uang-uang ini adalah surat pengakuan utang (promes) pada pihak yang
menerbitkan.
Di antara ulama berpendapat seperti ini adalah : Masyaikh al-Azhar
dan al-‘Allamah asy-Syinqithi dalam Adhwa’ al-Bayan (I/257).
2.
Uang kertas adalah salah satu dari jenis barang perniagaan dan
salah komoditas.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah as-Sa’di rahimahullah,
sebagaimana dalam al-Fatawa as-Sa’diyah (hal.338-339). Pendapatnya ini
diselisihi oleh muridnya, Ibnu Utsaimin rahimahullah.
3.
Ia menyerupai uang logam yang tidak terbuat dari emas dan perak
(seperti dari tembaga, nikel...).
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Musthafa az-Zarqa,
seperti yang dinukil Ibnu Mani’ dalam al-Waraq an-Nuqudi (hal.147).
4.
Ia adalah bagian dari emas dan perak.
5.
Uang kertas adalah uang yang berdiri sendiri.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdurrazaq
‘Afifi rahimahullah, anggota Dewan Ulama Besar (Hai’ah Kibar
al-Ulama’), Saudi Arabia.
Abu Malik berkata : Barangkali
pendapat yang terakhir inilah, uang kertas adalah alat tukar yang berlaku
padanya hukum-hukum alat tukar lainnya (seperti emas dan perak) adalah pendapat
yang benar. Dan dengannya, tersistem berbagai bentuk transaksi keuangan.
Nishab Uang Kertas
Sebagaian ulama kontemporer
berpendapat agar mempertimbangkan nishab zakat uang kertas ini dengan nishab
perak. Karena inilah yang disepakati bersama dan penetapan ini lebih bermanfaat
bagi kaum kafir.
Sementara
yang lainnya berpendapat, nishab zakatnya adalah nishab emas. Karena perak
berubah nilainya setelah zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Salam, dan
generasi setelahnya, sehingga boleh dikatakan tidak memiliki nilai lagi.
Berbeda dengan emas yang nilainya boleh dibilang stabil sampai sekarang ini.
Kemudian nishab emas mendekati nishab-nishab lainnya dalam zakat, seperti lima
ekor unta, empat puluh ekor kambing dan sejenisnya. Sebab, bagaimana masuk akal
bila syaria’t tidak mewajibkan zakat pada orang yang memiliki empat ekor unta
atau tiga puluh sembilan ekor kambing
dan menganggapnya sebagai fakir, sementara syariat mewajibkan zakat pada
orang yang memiliki nizshab perak yang tidak bisa untuk membeli satu ekor
kambing pun dan menganggapnya sebagai orang kaya?![1]
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat ini lebih adil. Wallahu a’lam.
Contoh : Seseorang
memiliki 2.000 junaih, dan yang lainnya memiliki 100.000 junaih; maka berapakah
jaumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta keduanya, jika telah lewat satu
haul?
Jawaban : Pertama kita harus mengetahui jumlah
nishab, yaitu nishab emas seperti yang telah dijelaskan (85 gram). Anggaplah
harga satu gram emas adalah 30 junaih, maka nishabnya adalah 30 x 85 = 2.550
junaih. Uang yang dimiliki orang yang pertama di bawah nishab, berarti ia tidak
wajib zakat, kecuali ia mau bersedekah. Adapun orang yang kedua, ia memiliki
uang di atas nishab, maka ia wajib zakat 1/40.
Zakat
yang dikeluarkan = 100.000 : 40 = 2.500 junaih.
Contoh lain :
Seseorang memiliki uang mencapai Rp. 30.000.000,- uang ini wajib
dizakati karena sudah mencapai satu nishab, penghitungan zakatnya adalah jumlah
keseluruhan uang yang dibagi 40. Jadi, zakat yang harus dibayarkan adalah : Rp.
30.000.000,-/40 = Rp. 750.000,-
Hikmah Wajib Zakat Uang[2]
Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar,
maka dimanfaatkanlah oleh orang-orang yang mengedarkannya. Sebaliknya
penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya
pekerjaanpekerjaan, merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan
mundurnya kegiatan perekonomian secara umum.
Oleh karenanya pewajiban zakat bagi pemilik uang (yang sudah sampai
nisab) baik yang dikembangkan maupun tidak adalah merupakan langkah kongkrit
yang patut diteladani. Hadits Nabi memerintahkan perniagaan harta anak yatim
sehingga tidak habis begitu saja dimakan zakat.
Referensi :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. Jilid
2.
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy
HTML. Bunga Rampai
[1] Al-Qardhawi, Fiqih Zakah, (I/286). Dan al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu (II/760)
[2] Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy
1 comments:
Write commentsI am eager the set up. It is wonderful to determine many people explain in words from your nature as well as capability upon which basic subject region are usually easily discovered.Give zakat Online
ReplyEmoticonEmoticon