Zakat Piutang



Para ulama berselisih pendapat tentang zakat utang: apakah wajib dikeluarkan oleh si pemilik piutang dengan pertimbangan bahwa dialah pemilik hakiki dari uang tersebut, ataukah wajib dikeluarkan bagi orang yang berutang dengan pertimbangan, dialah yang menggunakan uang itu dan yang memanfaatkannya? Ataukah ditiadakan dari keduanya karena kepemilikan keduanya tidak sempurna?
Pendapat paling adil tentang zakat utang ini adalah, utang itu ada dua jenis :
1.      Utang yang dapat diharapkan pelunasannya, yaitu utang yang ada pada orang yang berkelapangan dan sanggup membayarnya. Utang seperti ini harus dikeluarkan zakatnya bersama harta yang dimilikinya setiap kali masuk haul.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam al-Amwal, hal.432, dari Umar, Utsman dan Ibnu Umardari kalangan sahabat, serta lain mereka dari kalangan tabi’in.
2.      Utang yang tidak bisa diharapkan pelunasannya. Yaitu utang yang terdapat pada orang yang kesulitan dan tidak bisa diharapkan kelapangannya, atau utang yang terdapat pada orang yang menolaknya, sementara tidak ada bukti (atas utang piutang tersebut). Ada yang berpendapat, dia harus mengeluarkan zakatnya, jika telah menerimanya, untuk tahun-tahun yang telah berlalu (ini madzhab Ali[1] dan Ibnu Abbas).[2]
Ada yang mengatakan, ia mengeluarkan zakatnya,  jika telah menerimanya, untuk satu tahun saja (ini madzhab Imam Malik).
Ada yang mengatakan pula, tidak ada zakat atasnya untuk berapa pu tahun yang berlalu dan tidak juga untuk tahun ini (ini madzhab Abu Hanifah).
Syaikhul Islam rahimahullah berakta (XXV/48),”Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan tidak ada zakat pada saat itu hingga berlalu masa haulnya, atau wajib padanya sekali zakat ketika menerimanya. Pendapat yang pertama memiliki argumen dan pendapat yang kedua juga memiliki argumen.”
      Shahih dari Utsman bin ‘Affan radhiaallahu ‘anhu, ia berkata,”Ini adalah bulan untuk mengeluarkan zakat kalian. Barangsiapa yang memiliki utang, maka hendaklah ia melunasinya, hingga kalian mendapat harta dan kalian dapat mengeluarkan zakatnya.”
      Aisyah radhiaallahu ‘anha berkata,”Tidak ada zakat pada utang (sampai ia menerimanya).”
Faidah : Barangsiapa memilki harta yang wajib dizakati, sementara dia berutang; jika utang tersebut mencapai nishab atau mengurangi dari nishab hartanya, maka tidak ada zakatnya.
      Jika utang itu mengurangi harta tetapi masih dia atas nishab, maka ia mengeluarkan hartanya untuk melunasi utangnya dan mengeluarkan zakatnya dari harta yang tersisa.
Misalnya, hartanya tiga puluh dinar dan utangnya lima dinar, maka ia mengeluarkan zakat dari dua puluh lima dinar tersebut.
Contoh Zakat Utang Piutang[3]
      Jika seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan masa pinjaman berlalu beberapa waktu, maka menurut pendapat ulama yang paling mudah[4], orang yang memberi pinjaman harus mengeluarkan zakat piutang dalam jangka setahun saja walaupun hutang tersebut berlalu bertahun-tahun.
      Suatu contoh Aiman memberi pinjaman uang kepada seseorang yang bernama Ahmad sebanyak Rp.150.000,- dan pinjaman tersebut bertahan pada Ahmad selama tiga tahun, maka siapa yang wajib mengeluarkan zakat dan berapa jumlah zakat yang harus dibayar?
      Yang berkewajiban mengeluarkan zakat adalah Aiman karena dia pemilik harta tersebut dan dia wajib mengeluarkan zakat dalam jangka setahun saja sebesar:
Rp.150.000,-  x  25/1000  x  1 tahun = Rp.375.000,-
Kesimpulan
Kesimpulan berbagai pendapat ulama tentang zakat piutang adalah :
1.      Bila seseorang memiliki piutang atas pihak lain, bila piutangnya dipastikan tidak bisa ditagih kembali (ma’dumah) maka tidak ada zakatnya meski telah mencapai nishab. Karena, hukumnya sama seperti barang yang tidak ada. Zakat hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara sempurna dan bisa dipergunakan secara penuh.
2.      Sementara itu, bila piutangnya dijamin dilunasi, misalkan pengutang atau perusahaan yang mengutang akan melunasi, maka orang yang memberi utang wajib menunaikan zakatnya ketika telah dibayar lunas terhitung satu tahun setelah menerimanya.
3.      Akhir-akhir ini, banyak masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan-perusahaan pengelola keuangan karena mereka tidak bisa mengambil uang mereka kembali. Berdasarkan kasus ini, bagi yang mendapatkan sebagian atau seluruh uangnya, ia tidak berkewajiban menzakati untuk tahun-tahun sebelumnya sejak ia tidak memegang kredit setelah diberikan ke pihak pengelola keuangan tersebut. Ia hanya berkewajiban mengeluarkan zakat untuk tahun terakhir saja. Bagi yang ingin bersedekah, itu lebih baik dan tidak wajib.

Referensi :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. Jilid 2.
Zaenal Abidin Syamsudin, Tabel Zakat, Yayasan Al-Sofwa:Jakarta.
Ali Mahmud Uqaily, Praktis & Mudah Menghitung Zakat, Aqwam:Solo.


[1] Sanadnya shahih, Abu ‘Ubaid meriwayatkan darinya dalam al-Amwal (431/1220) dan dari al-Baihaqi (IV/150) meriwayatkan dengan sanad shahih.
[2] Sanadnya dha’if, Abu ‘Ubaid meriwayatkan darinya dalam al-Amwal, dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ (786)
[3] Zaenal Abidin Syamsudin, Tabel Zakat, Yayasan Al-Sofwa:Jakarta.
[4] Demikian itu adalah pendapat Imam Malik baik utang yang diharapkan pengembaliannya atau tidak dengan syarat tidak diakhirkan penyerahannya tersendiri dari zakat. Jika tidak, maka wajib mengeluarkan zakat tiap tahun yang telah berlalu dari masa hutang. Sebagaimana pendapat Ibnu Qasim al-Maliki bahwa yang lebih hati-hati adalah mengeluarkan zakat piutang setiap tahun sepanjang masa piutang seperti pendapat madzhab Hambali.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »