SHALAT TASBIH




Definisi
Shalat Tasbih merupakan jenis shalat nafilah yang dikerjakan secara khusus. Dan sesungguhnya dinamakan Shalat Tasbih ketika di dalamnya diperbanyak bacaan tasbih. Jumlah tasbih pada setiap rakaat berjumlah 75 kali.[1]
Tata Cara Shalat Tasbih
            Shalat Tasbih dikerjakan empat rakaat. Hendaklah setelah membaca al-Fatihah dan surat, kemudian membaca :
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Sebanyak 15 kali, ketika ruku’ 10 kali, ketika bangkit dari ruku’ 10 kali, ketika sujud 10 kali (dua kali sujud berarti 20 kali), ketika duduk di antara dua sujud 10 kali, dan ketika duduk istirahat di antara dua raka’at 10 kali. Jadi jumlah tasbih pada tiap-tiap rakat ialah 75 kali.
Hukum Shalat Tasbih
Ada perbedaan diantara ahlu ‘ilmi dalam hukum shalat tasbih yakni  perselisihan mengenai ketetapan hadits yang berkaitan :
Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada Abbas bin ‘Abdul Muthallib, “Hai Abbas, hai paman, maukah engkau aku beri sesuatu?” Selanjutnya beliau memberitahukan tata cara shalat Tasbih kepada pamannya, lalu bersabda,
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً
“Jika engkau mampu melakukannya satu kali setiap hari, maka lakukanlah. Jika engkau tidak mampu, maka lakukanlah satu kali dalam setiap jum’at (seminggu). Jika engkau tidak mampu, maka lakukanlah satu kali dalam setahu. Jika engkau tidak mampu, maka lakukanlah satu kali dalam sepanjang umurmu.”[2]
Ikhtilaf ahlu ‘ilmi dalam hukum tersebut ada tiga pendapat :
Pertama : Sesungguhnya mustahab, diantarnya pendapat Ibnu al-Mubarak, sebagian asy-Syafi’iyyah mereka telah menshahihkan hadits tersebut.
Kedua : Sesungguhnya diperbolehkan, diantaranya pendapat sebagian pendapat Hanabilah, mereka mengatakan,”kalaulah tidak ditetapkan (dikuatkan) hadits tersebut maka itu merupakan fadhoil a’mal, dan cukup dikatakan hadits dho’if. Oleh karena itu Ibnu Qudamah berkata di dalam al-Mughni (2/132),”jika seseorang mengerjakannya maka tidak apa-apa, karena jika nawafil dan fadhoil (keutamaan) tidak disyaratkan dengan benarnya hadits.
            Ketiga : Sesungguhnya tidak disyari’atkan, sebagaimana madzhab Imam Ahmad.
Imam an-Nawawi berkata : Dalam kemustahabannya perlu diteliti kembali, karena haditsnya lemah. Dan didalamnya adanya pergantian untuk rangkaian shalat yang telah diketahui maka seharusnya tidak mengerjakan kecuali ada hadits yang menerangkan. Dan haditsnya bukanlah hadits yang ditetapkan.
Penulis (Abu Malik) berkata :
Pendapat yang terakhir lebih kuat, karena tidak adanya ketetapan hadits yang kuat dari perbedaan untuk cara shalat tersebut. Akan tetapi ini pendapat ijtihadi, dan ketika mujtahid mengatakan menshahihkan hadits maka sunnah untuk mengerjakannya.
Adapun pendapat kedua diperbolehkannya dengan menjadikan hadits dho’if maka perkataan ini adalah lemah, oleh karena itu ada dua perkara:
1.      Sesungguhnya yang benar bahwa hadits dho’if mutlak tidak diamalkan, tidak ada keutamaan amal ataupun selainnya.
2.      Jika yang berpendapat bahwa beramal dengan hadits dho’if termasuk dalam keutamaan beramal maka disana ada syarat yaitu hendaknya landasannya atas dasar syar’i, perbuatannya sesuai dasar yang telah disyari’atkan.
Peringatan : Bagi pendapat yang membolehkan shalat Tasbih, maka jika yang dimaksudkan adalah shalat dimalam ke-27 pada bulan Ramadhan dan berkumpul di masjid untuk mengadakannya ini tidak ada dasarnya dan merupakan perbuatan bid’ah. Waallahu a’lam.

Referensi : Abu Malik, Shahih Fiqh Sunnah, al-Maktabah at-Taufiqiyah, jilid 1, Hal.327-329.



[1] Nihayatul Muhtaj (2/119)
[2] Hadits dho’if, dikeluarkan oleh Abu Daud (1297), Ibnu Majah (1387), al-Hakim (1/318-319), al-Baihaqi (3/51), ath-Thabrani (11/161), dan Abu Nu’aim di dalam kitabnya al-Hilyah (1/25-26) dans selain dari jalan Ibnu Abbas semuanya lemah. Dan baginya ada syawahid yang banyak kecuali tidaklah memperbaiki melainkan untuk menguatkan. Penulis (Abu Malik) berkata : para ulama telah melemahkan hadits tersebut diantaranya Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu al-‘Arabi, dan Ibnu al-Jauzi di dalam al-Maudhu’at, begitu pula Syaikhul Islam melemahkan hadits tersebut dan sikap tawaquf yang diambil oleh Ibnu Khuzaimah dan adz-Dzahabi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »