Definisi
As-sahwi secara bahasa adalah lupa atau tidak sadar, atau
berpalingnya hati dari sesuatu. Adapun secara istilah adalah sujud yang
dilakukan pada akhir shalat atau setelahnya untuk menutupi celah dengan meninggalkan
perkara atau gerakan dalam shalat tanpa disengaja.
Penyebab Sujud Sahwi
Pertama : An-Naqsh
(meninggalkan/mengurangi).
1.
Jika seseorang meninggalkan salah satu rukun pada rakaat pertama
karena lupa kemudian baru mengingatnya ketika sebelum membaca pada rakaat
setelahnya, maka dia harus kembali lagi untuk melakukan rukun yang ditinggalkan
dan melanjutkan setelahnya, kemudian melakukan sujud sahwi diakhir shalatnya.
Dan jika seseorang lupa dan ingat ketika telah masuk pada rukun
rakaat setelahnya maka gugurlah yang kurang tadi. Dan sempurnakanlah shalatnya
kemudian sujud sahwi.
2.
Jika seseorang meninggalkan salah satu kewajiban dari
kewajiban-kewajiban shalat seperti tasyahud awal secara sengaja, maka shalatnya
batal. Tetapi jika hal itu dilakukannya karena lupa dan ia mengingatnya sebelum
melanjjutkan dari tempatnya pada shalat tersebut, maka ia harus melakukannya
dan tidak ada sesuatu atasnya.
Jika ia mengingat di dalam shalat, tetapi belum mencapai rukun yang
mengikutinya, maka ia harus kembali (pada apa yang ditinggalkannya) dan
melakukannya, lalu ia menyempurnakan shalatnya hingga salam, lalu sujud sahwi
dan salam. Akan tetapi jika ia mengingatnya setelah mencapai rukun shalat yang
mengikutinya, maka hal tersebut batal dan ia tidak boleh kembali untuk
melaksanakannya. Akan tetapi setelah ia menyelesaikan shalatnya ia sujud sahwi
terlebih dahulu sebelum salam.
Kedua : Az-Ziyadah
(menambahkan sesuatu)
Jika seseorang shalat menambahkan
sesuatu dengan sengaja dalam berdiri, duduk, rukuk atau sujud, maka shalatnya
batal. Namun jika ia melakukannya karena lupa dan tidak ingat atas penambahan
tersebut sampai ia menyelesaikannya, maka tidak ada sesuatu atasnya kecuali
sujud sahwi dan shalatnya benar. Namun jika ia mengingatnya ketika sedang
melakukan penambahan tersebut, maka wajib baginya untuk meninggalkan
(membatalkan) penambahan tersebut kemudian melakukan sujud sahwi (yakni diakhir
shalat) dan shalatnya menjadi benar.
Ketiga : Syak
(ragu-ragu)
Apabila salah seorang dari kamu
dalam shalatnya dan tidak mengetahui berapa (raka’at) shalat yang dikerjakannya
apakah tiga atau empat, hendaklah ia membuang keraguannya dan condong kepada
apa yang diyakininya. Kemudian ia melakukan sujud dua kali sebelum salam.
Keraguan
tidak diperhitungkan dalam perkara ibadah dalam tiga hal :
1.
Jika hal tersebut hanya merupakan hayalan seseorang yang bukan
merupakan kenyataan seperti was-was.
2.
Jika hal tersebut muncul secara terus-menerus pada seseorang bahwa
ia tidak melakukan suatu ibadah kecuali bahwa ia meragukannya.
3.
Jika hal tersebut muncul setelah menyempurnakan ibadah. Maka yang
demikian tidak diperhitungkan selama ia tidak yakin atasnya dan dalam hal ini
ia harus beramal terhadap apa yang ia yakini.
Hukum Sujud Sahwi
Para ahlu ‘ilmi dalam memberikan hukum tentang sujud sahwi pada
sisi adanya sebab, terdapat dua pendapat :
Pertama : Wajib,
menurut madzhab Hanafiyah dan perkataan Malikiyah, sandaran pada Hanabilah,
azh-Zhahiri dan ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam, dengan alasan ;
1.
Adanya perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam.
2.
Nabi Shalallahu ‘alaihi
wa salam melaksanakan secara kontinyu apabila lupa dalam sujudnya.
Kedua : Mustahab,
menurut Malikiyah dan asy-Syafi’iyah dan dari riwayat Hanabilah.
Sedangkan
pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama yang mengatakan wajib.
Kapan Sujud Sahwi Dilakukan ?
Ada
perbedaan pendapat diantara Ahlu ‘Ilmi :
1.
Sujud sahwi dilakukan setelah salam.
Menurut Abu Hurairah, Makhuul, az-Zuhri, Ibnu Musayyib, Rabi’ah,
al-Auza’i dan al-Laits. (Madzhab Asy-Syafi’i Qoul Jadid)
2.
Sujud sahwi setelah salam.
Menurut Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Ibnu
‘Abbas, riwayat dari Ali dan Umar, Hasan, an-Nakha’i dan ats-Tsauri. (Madzhab
Abu Hanifah)
3.
Apabila sebabnya az-Ziyadah maka setelah salam, dan apabila
sebabnya an-Naqsh maka sebelum salam.
Menurut madzhab Malik, al-Mazini, Abi Tsauri dan Qoul Syafi’i.
Referensi : Diringkas dari kitab Shahih Fiqh Sunnah karya Abu
Malik bin Sayyid Salim. Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, jilid 1,
hal.459-464
.
EmoticonEmoticon