Pihak Penerima Zakat




1,2. Kaum fakir dan miskin
Diberikan kepada fakir dan miskin berupa zakat yang dapat mencukupinya atau menutupi kebutuhannya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya untuk satu tahun penuh, tidak lebih dari itu, menurut jumhur ulama.

Zakat Fitrah




Definisi
Zakat fitrah, menurut istilah ialah sedekah yang diwajibkan dengan selesainya puasa pada bulan Ramadhan.
Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah

Zakat Mahar



Mahar tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Hanyasaja, ada kewajiban mengeluarkan zakat dari mas yang dimiliki seseorang, baik berupa simpanan atau perhiasaan. Karena itu, mas yang digunakan untuk mahar, bila mencapai nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya.

Zakat Sapi Dan Kambing



Zakat Sapi
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiaallahu ‘anhu, ia berkata,”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengutusku ke yaman dan memerintahkanku untuk mengambil zakat sapi dari setiap empat puluh ekor zakatnya seekor musinnah, dan dari setiap tiga puluh ekor zakatnya tabi’ atau tabi’ah.

Zakat Unta



Salah satu hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya apabila sudah mencapai nishab adalah unta. Meskipun di daerah kita Indonesia tidak ada yang berternak unta, penulis disini hanya akan menyampaikan tentang zakat unta karena memang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam riwayat yang panjang, meski tidak kami tulis haditsnya akan tetapi Abu Malik bin Sayyid Salim telah mengelompokkan jumlah unta yang wajib dikeluarkan. Nabi  Shalallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan kadar zakat yang wajib dikeluarkan, sebagaimana dalam hadits Anas tentang surat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu yang ditujukan kepadanya.

Zakat Hewan Ternak

Zakat Hewan Ternak


Para ulama sepakat, zakat diambil dari unta, sapi dan kambing. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang cukup banyak. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang kuda. Jumhur ulama di antaranya dua sahabat Abu Hanifah berpendapat, kuda yang tidak dipersiapkan untuk diperdagangkan tidak dikeluarkan zakatnya walaupun digembalakan dan dikembang biakkan baik kuda pekerja maupun selainnya.
Pendapat mereka ini diperkuat dengan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam :
ليس على المسلم في فرسه وغلامه صدقة
Tidak ada kewajiban zakat atas seorang Muslim pada kudanya dan budaknya.”[1]
Sedangkan Abu Hanifah dan Zufr berpendapat, jika kuda jantan digembalakan bersama kuda betina, wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan jika yang digembalakan kuda jantan saja, tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena tidak dapat berkembang biak. Demikian pula jika yang digembalakan hanya kuda betina. Ia berhujjah dengan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam : “Seekor kuda bisa menjadi pahala bagi seorang laki-laki, bisa menjadi perisai dan bisa menjadi dosa atasnya [dan di dalamnya disebutkan] dan tidak melupakan hak Allah pada leher dan pungungnya.”[2]
Menurut Abu Hanifah, hak lehernya adalah zakat.
Adapun hewan-hewan lain, seperti bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai dan selainnya, maka tidak ada zakatnya, selama hewan-hewan tersebut tidak untuk diperdagangkan. Dasarnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam ,”Seekor kuda bisa menjadi pahala bagi seseorang...” saat ditanya tentang keledai, beliau menjawab,”Tidak diturunkan padaku tentangnya kecuali ayat yang satu ini:’Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya.” (az-Zalzalah:7)
Syarat-syarat Wajib Zakat pada Hewan Ternak
Ada tiga syarat berkenaan dengan hewan ternak sehingga diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya :
● Mencapai nishab
● Melewati satu haul berdasarkan hadits :
Tidak ada kewajiban zakat pada harta hingga genap satu haul.”[3]
            ● Ternak tersebut digembalakan, yakni digembalakan di padang rumput bebas hampir sepanjan tahun.
Hewan ternak terbagi empat macam :
Hewan ternak (unta, sapi dan kambing) dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :
1.      Hewan ternak yang digembalakan, yaitu digembalakan di padang rumput bebas hampir sepanjang tahun, serta dipersiapkan untuk diperah susunya dan dikembang biakkan. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 10.
Dan sesungguhnya menyuburkan tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggebalakan ternakmu.” Ini adalah jenis yang wajib dikeluarkan zakatnya.
2.      Hewan ternak yang diberi makan. Jika hewan ternak tersebut dipersiapkan untuk diambil susunya dan dikembangbiakkan, tetapi pemiliknya membelikan makanannya atau mencari rumput untuknya, maka tidak ada zakatnya.
3.      Hewan ternak yang dipekerjakan. Seperti unta yang disewakan pemiliknya untuk mengangkut barang-barang dia atas punggungnya dan dikendarai. Demikian pula seperti sapi yang dipakai untuk membajak dan mengairi tanaman. Hewan ternak seperti ini tidak ada zaaktnya, menurut jumhur, berbeda dengan pendapat Malikiyah.
4.      Hewan ternak yang dipersiapkan untuk diperdagangkan. Ini wajib dikeluarkan zakatnya seperti barang-barang perniagaan lainnya. Adakalanya wajib mengeluarkan zakat untuk satu ekor unta, jika harganya telah mencapai nishab, baik digembalakan, diberi makanan maupun dikendarai.



Diringkas dari :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. Jilid 2.



[1] Shahih, diriwayakan oleh al-Bukhari (1464) dan Muslim (628)
[2] Shahih, diriwayakan oleh al-Bukhari (2371) dan Muslim (987)
[3] Hadits dho’if, walaupun dishahihkan oleh al-Albani, hadits ini berakitan dengan hewan ternak

Zakat Harta Karun

Zakat Harta Karun


Definisi
Ar-rikaz, menurut bahasa, berasal dari kata ar-Rakz, sesuatu yang terpendam di perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam. Menurut syar’i, harta terpendam zaman jahiliyyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras, baik berupa emas, perak maupun selainnya.
Adapun al-Ma’dan, menurut bahasa, berasal dari kata al-‘Adn yaitu al-Iqamah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’dan-nya. Menurut syar’i, segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta dalam bumi dari sesuatu yang lain yang memiliki nilai.
Barang tambang bisa berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah dan air raksa. Atau berbentuk cairan, seperti minyak ter dan sejenisnya.
Ketentuan yang Berkaitan dengan Harta Terpendam
Barangsiapa menemukan harta terpendam, maka ia tidak lepas dari lima kondisi berikut :
1.      Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui siapa pemiliknya.
2.      Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau kampung yang berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya.
3.      Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama :
● Harta itu pemilik tanah. (pendapat Abu Hanifah, qiyas dari pendapat Malik)
● Harta itu milik orang yang menemukannya. (riwayat yang lain dari Ahmad)
● Jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. (ini adalah madzhab asy-Syafi’i)
4.      Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan, dengan cara membeli atau selainnya. Dalam hal ini ada dua pendapat :
● Harta itu milik yang menemukannya di tanah miliknya.
(pendapat tiga imam kecuali asy-Syafi’i).
● Harta itu milik pemilik tanah sebelumnya, jika ia mengklaimnya. Jika tidak, maka pemilik tanah yang sebelumnya dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut seperti harta hilang, yaitu luqathah (barang tercecer).
(ini adalah pendapat asy-Syafi’i).
5.      Ia menemukannya di Dar al-Harb (negeri yang diperangi).
Jika digali bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti hukum gahnimah.

Apakah Barang Tambang Termasuk dalam Hukum Rikaz?
1.      Imam Malik dalam salah satu dari dua riwayatnya dan asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang kedua berpendapat, tidak ada kewajiban apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).
2.      Jumhur ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, emas, timah... dan minyak bumi, seperti rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih tentang kadar zakatnya.
Inilah pendapat yang rajih, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (al-Baqarah : 267)
Nishab dan Zakat hasil tambang
Hasil tambang berupa emas, perak dan sebagainya apabila sampai memenuhi nishab sebagaimana nishab emas dan perak maka harus dikeluarkan zakatnya seketika itu juga, tidak usah menunggu satu tahun. Adapun zakatnya adalah sebesar 2,5%.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, Abu ‘Ubaid dan selainnya berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima (20%) dari barang tambang seperti harta rikaz. Sementara jumhur berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh (1/40 = 2,5%), diqiyaskan dengan emas dan perak. Sebab perselisihan ini adalah perbedaan tentang makna rikaz (harta terpendam), apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya ataukah tidak?
Sebagian ahli fiqih membedakanya : jika hasil yang didapat banyak, jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wjib dikeluarkan seperlimanya (1/5). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (1/40).
Mengeluarkan Harganya Sebagai Pengganti Barang yang wajib Dikeluarkan Zakatnya?
Para ulama dalam hal mengeluarkan harga dari barang-barang zakat terbagi menjadi dua pendapat :
1.      Hal itu tidak boleh.
Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i, Ahmad dan Dawud.
2.      Boleh mengeluarkan harganya.
Ini adalah madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri, zhahir pendapat al-Bukhari, satu apsek dalam madzhab asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad. waallahu a’lam.

Referensi :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. Jilid 2.

Zakat Barang Perniagaan

Zakat Barang Perniagaan


Barang-barang perniagaan ialah segala sesuatu selain naqdain (emas dan perak) berupa barang. Properti, berbagai jenis barang dan hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan lain-lain yang dipersiapkan untuk diperdagangkan. Sebagian ulama mendefinisikan sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjual belikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hukum Zakat pada Barang-barang Perniagaan
Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perniagaan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Sebagian dari mereka menuturkan, hal ini adalah ijma’ sahabat dan tabi’in. Namun, pendapat ini perlu dikoreksi karena adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah lama berlangsung, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syafi’i dan selainnya.
Pendapat Kedua : Tidak wajib zakat pada barang-barang perniagaan. Ini adalah madzhab Zhahiriyyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti asy-Syaukani, Shiddiq Khan kemudian al-Albani.
Abu Malik bin Sayyid Salim menyatakan namun, pendapat jumhurlah pendapat yang benar. Wallahu a’lam.
Syarat-syarat Zakat pada Harta Perniagaan :
1.      Barang-barang ini bukan termasuk barang wajib dikeluarkan zakatnya pada asalnya, seperti hewan ternak, emas, perak dan sejenisnya.
Karena tidak terkumpul dua zakat, menurut ijma’. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat benda itu berdasarkan pendapat yang rajih karena zakat benda lebih kuat dalilnya dari pada zakat perdagangan karena telah terjadi ijma’ atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan baran-barang di bawah nishab benda tersebut, maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[1]
2.      Mencapai nishab, yaitu nishab uang (85 gram emas)
3.      Telah berlalu padanya satu haul.
Adapun syarat untuk barang-barang perdagangan, ada 2 :
1.      Dimiliki dengan perbuatan seseorang, misalnya dengan cara jual beli,sewa dan lainnya. Dengan kata lain, dimiliki dengan akad yang mengharuskan kompensasi.
2.      Pada saat memiliki barang tersebut diniatkan untuk barang perdagangkan. Bila pada saat dimiliki tidak dinaitkan untuk diperdagangkan, barang tersebut bukan barang dagangan meski baru diniatkan setelahnya.[2]

Kapan Dihitung Nishab pada Harta Perniagaan?
Mengenai waktu perhitungan nishab harta pernaigaan nishab harta perniagaan ada tiga pendapat :
● Pada akhir haul (ini pendapat Malik dan asy-Syafi’i).
● Di sepanjang haul, dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputuslah haul itu (madzhab jumhur).
● Pada awal haul dan di akhirnya, bukan ditengahnya (madzhab Abu Hanifah).
Contoh :
Pada awal tahun, seseorang pedagang memulai berdagang dengan modal Rp. 50.000.000 yang begerak di bidang perabotan rumah.
Pada pertengahan tahun, yang bersangkutan menghitung modalnya dan jumlahnya menyusut menjadi Rp. 20.000.000.
Kemudian pada akhir tahun, uangnya mencapai Rp.  100.000.000.
Maka, saat itu ia wajib zakat, karena di awal tahun ia memulai usaha dengan modal sebesa Rp. 50.000.000. Jumlah ini telah mencapai nishab syar’i.
Kemudian pada akhir tahun, jumlah uangnya menjadi Rp. 100.000.000. Jumlah ini juga telah mencapai nishab syar’i meski dipertengahan tahun mengalami penyusutan. Penyusutan di paruh tahun ini tidak menjadi ukuran.
Jadi, besar zakat yang wajib ia keluarkan adalah :
Rp. 100.000.000 / 40 = Rp. 2.500.000.

Referensi :
Ibnu Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. Shahih Fiqh Sunnah.Mesir : Maktabah At-Taufikiyyah. Jilid 2.
            Uqaily, Ali Mahmud. Praktis & Mudah Menghitung Zakat. Solo : Aqwam.



[1] Al-Majmu’ (VI/50) dan al-Mughni (III/34)
[2] Fiqhus Sunnah, hal.333