Barang-barang perniagaan ialah segala sesuatu selain naqdain (emas
dan perak) berupa barang. Properti, berbagai jenis barang dan hewan, tanaman,
pakaian, perhiasan dan lain-lain yang dipersiapkan untuk diperdagangkan.
Sebagian ulama mendefinisikan sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk
diperjual belikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hukum Zakat pada Barang-barang Perniagaan
Pendapat
Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perniagaan. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Sebagian dari mereka menuturkan, hal ini adalah ijma’
sahabat dan tabi’in. Namun, pendapat ini perlu dikoreksi karena adanya
perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah lama berlangsung, sebagaimana
disebutkan oleh asy-Syafi’i dan selainnya.
Pendapat
Kedua : Tidak wajib zakat pada barang-barang perniagaan. Ini adalah madzhab
Zhahiriyyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti asy-Syaukani, Shiddiq
Khan kemudian al-Albani.
Abu
Malik bin Sayyid Salim menyatakan namun, pendapat jumhurlah pendapat yang
benar. Wallahu a’lam.
Syarat-syarat Zakat pada Harta Perniagaan :
1.
Barang-barang ini bukan termasuk barang wajib dikeluarkan zakatnya
pada asalnya, seperti hewan ternak, emas, perak dan sejenisnya.
Karena tidak terkumpul dua zakat, menurut ijma’. Tetapi ia wajib
mengeluarkan zakat benda itu berdasarkan pendapat yang rajih karena zakat benda
lebih kuat dalilnya dari pada zakat perdagangan karena telah terjadi ijma’ atas
hal itu. Barangsiapa memperdagangkan baran-barang di bawah nishab benda
tersebut, maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[1]
2.
Mencapai nishab, yaitu nishab uang (85 gram emas)
3.
Telah berlalu padanya satu haul.
Adapun
syarat untuk barang-barang perdagangan, ada 2 :
1.
Dimiliki dengan perbuatan seseorang, misalnya dengan cara jual
beli,sewa dan lainnya. Dengan kata lain, dimiliki dengan akad yang mengharuskan
kompensasi.
2.
Pada saat memiliki barang tersebut diniatkan untuk barang
perdagangkan. Bila pada saat dimiliki tidak dinaitkan untuk diperdagangkan,
barang tersebut bukan barang dagangan meski baru diniatkan setelahnya.[2]
Kapan Dihitung Nishab pada Harta Perniagaan?
Mengenai waktu perhitungan nishab harta pernaigaan nishab harta
perniagaan ada tiga pendapat :
● Pada akhir haul (ini pendapat Malik dan asy-Syafi’i).
● Di sepanjang haul, dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang
dari nishabnya sesaat saja, maka terputuslah haul itu (madzhab jumhur).
● Pada awal haul dan di akhirnya, bukan ditengahnya (madzhab Abu
Hanifah).
Contoh :
Pada
awal tahun, seseorang pedagang memulai berdagang dengan modal Rp. 50.000.000
yang begerak di bidang perabotan rumah.
Pada
pertengahan tahun, yang bersangkutan menghitung modalnya dan jumlahnya menyusut
menjadi Rp. 20.000.000.
Kemudian
pada akhir tahun, uangnya mencapai Rp.
100.000.000.
Maka,
saat itu ia wajib zakat, karena di awal tahun ia memulai usaha dengan modal
sebesa Rp. 50.000.000. Jumlah ini telah mencapai nishab syar’i.
Kemudian
pada akhir tahun, jumlah uangnya menjadi Rp. 100.000.000. Jumlah ini juga telah
mencapai nishab syar’i meski dipertengahan tahun mengalami penyusutan.
Penyusutan di paruh tahun ini tidak menjadi ukuran.
Jadi,
besar zakat yang wajib ia keluarkan adalah :
Rp.
100.000.000 / 40 = Rp. 2.500.000.
Referensi :
Ibnu Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. Shahih Fiqh Sunnah.Mesir
: Maktabah At-Taufikiyyah. Jilid 2.
Uqaily, Ali Mahmud. Praktis &
Mudah Menghitung Zakat. Solo : Aqwam.
EmoticonEmoticon