Niat merupakan
salah satu syarat sahnya shalat yang terakhir. Dalam kitab Shahih Fiqh
Sunnah dijelaskan berkaitan dengan niat ini.
النية : هي العزم على فعل العبادة تقربا إلى الله تعالى
Niat ialah kemauan yang teguh pada perbuatan ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Telah disepakati bahwa niat merupakan syarat sahnya shalat, dan
dasar ini adalah firman Allah Ta’ala surat al-Bayyinah ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Artinya : “Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah,
dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang
lurus (benar).”
Dan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
إنماالأعمال
باالنيات, وإنمالكل امرئ مانوى
Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dengan niat, dan bagi
setiap orang apa yang dia niatkan.
(Mutafaqun ‘alaih)
Merubah Niat Dalam Keadaan Shalat
Berpindahnya satu niat kepada niat yang lain dalam shalat memiliki
beberapa ketentuan tertentu :
1.
Dari
Fardlu ke Nafilah mutlak
Tidak diperbolehkan bagi siapa saja
yang hendak melaksanakan shalat sendirian kemudian melihat jama’ah telah hadir,
ia merubah Fardlunya ke nafilah, kemudian ia hendak shalat berjama’ah bersama.
2.
Dari
Fardlu ke Fardlu yang lain
Hal seperti ini tidak diperbolehkan
bahkan membatalkan kedua-duanya.
Contoh : seseorang ingat ketika
shalat Ashar bahwa dia belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka tidak
diperbolehkan merubah niatnya menjadi shalat Zhuhur.
3.
Dari
Nafilah ke Fardhu
Tidak diperbolehkan sebagaimana sebab
yang telah disebutkan sebelumnya.
4.
Dari
Nafilah mu’ayyan ke Nafilah mutlak
Dalam hal seperti ini diperbolehkan,
karena nafilah mu’ayyan termasuk niat nafilah mutlak.
Contoh : seseorang berniat shalat
empat rakaat sunnah Zhuhur, kemudian dia melihat jama’ah, dia merubah niatnya
yang dari empat rakaat menjadi dua rakaat agar bisa menyusul ikut bersama
jama’ah.
5.
Dari
Nafilah mu’ayyan ke Nafilah mu’ayyan
Tidak diperbolehkan, sebagaimana
apabila seseorang berniat Tahyiatul masjid, kemudian merubah niatnya menjadi
sunnah Fajar, maka menjadi batal niat pertama dan yang kedua tiada niat pada
awalnya.
6.
Dari
Nafilah ke Nafilah mu’ayyan
Tidak disahkan sebagaimana
sebelumnya.
7.
Dari
niat Imam menjadi niat Ma’mum
Maka hal seperti ini diperbolehkan. Sebagaimana
hadits ‘Aisyah dalam kisah shalatnya Abu Bakr bersama jama’ah : Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam masuk masjid yang diketahui oleh Abu
Bakr, karena datang terlambat, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
memberikan isyarat : Berdirilah di tempatmu, maka datang Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam sampai duduk di sebelah kiri Abu Bakr, dia telah berkata :
ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama yang lain dalam
keadaan duduk dan Abu Bakr dalam keadaan berdiri, Abu Bakr mengikuti dengan
shalat bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang lainpun
mengikuti dengan shalat bersama Abi Bakr.[1]
8.
Dari
mengikuti Imam yang satu kepada Imam yang lain
Maka hal ini diperbolehkan
sebagaimana hadits ‘Aisyah pada yang telah disebutkan, ketika orang-orang
berma’mum dengan Abu Bakr kemudian dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan dalam kisah terbunuhnya Umar bin Khattab radhiaallahu ‘anhu,
majulah Abdurrahman bin ‘Auf untuk melengkapi shalat bersama jama’ah.[2]
9.
Dari
Ma’mum menjadi Imam
Diperbolehkan sebagaimana apabila
seorang Imam memiliki udzur dalam shalatnya, maka salah dari ma’mum di
belakangnya untuk menggantikan seperti halnya kisah Umar sebelumnya.
10.
Dari
Munfarid menjadi Imam
Diperbolehkan, seperti seorang yang
shalat sendiri kemudian datang kepadanya untuk berma’mum dengannya.
11.
Dari
Imam menjadi Munfarid
Tidak diperbolehkan kecuali ada
uzur, seperti apabila ma’mum mempunyai uzur maka dia meninggalkan imam sendiri
ketika itu diperbolehkan dan shalatnya benar.
12.
Dari
Ma’mum menjadi Munfarid
Diperbolehkan bagi yang memiliki
uzur syar’i seperti panjangnya Imam diatas sunnah dan tiba-tiba ma’mum sakit
atau sebaginya, dari apa yang dibutuhkan menjadi sendiri karena lemah. Dan
hal ini menunjukkan sebagaimana dalam kisah seorang laki-laki yang shalat
dibelakang Mu’adz bin Jabal ketika bacaannya panjang kemudian seorang tersebut
shalat sendiri, kemudian kejadian ini dilaporkan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak
diperintahkan untuk mengulanginya.[3]
Dan
dikatakan : tetapi bukan berarti baginya secara terpisah dan sesungguhnya
apabila tiba-tiba terjadi sesuatu padanya untuk memutuskan shalat kemudian
shalat sendirian, dan mereka menjawab dengan hadits Mu’adz bahwa seorang
laki-laki keluar dari shalatnya kemudian menjadikan shalatnya sendiri,
sebagaimana dalam riwayat Muslim (465) : maka orang itu mengundurkan (dari
shalatnya) maka dia salam kemudian shalat sendiri.
Referensi : Diringkas dari kitab Shahih Fiqh Sunnah karya Abu
Malik bin Sayyid Salim. Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, jilid 1,
hal.308-309.
[1]
Shahih, dikeluarkan oleh al-Bukhari (664) dan Muslim (418)
[2]
Shahih, dikeluarkan oleh al-Bukhari (3700)
[3]
Shahih, dikeluarkan oleh al-Bukhari (6106) dan Muslim (465)
EmoticonEmoticon