Zakat Unta
Salah satu hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya apabila
sudah mencapai nishab adalah unta. Meskipun di daerah kita Indonesia tidak ada
yang berternak unta, penulis disini hanya akan menyampaikan tentang zakat unta
karena memang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam
riwayat yang panjang, meski tidak kami tulis haditsnya akan tetapi Abu Malik
bin Sayyid Salim telah mengelompokkan jumlah unta yang wajib dikeluarkan.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam telah
menjelaskan kadar zakat yang wajib dikeluarkan, sebagaimana dalam hadits Anas
tentang surat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu yang ditujukan kepadanya.
Zakat Hewan Ternak
Para ulama sepakat, zakat diambil dari unta, sapi dan kambing.
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang cukup banyak. Kemudian mereka berbeda
pendapat tentang kuda. Jumhur ulama di antaranya dua sahabat Abu Hanifah
berpendapat, kuda yang tidak dipersiapkan untuk diperdagangkan tidak
dikeluarkan zakatnya walaupun digembalakan dan dikembang biakkan baik kuda
pekerja maupun selainnya.
Pendapat mereka ini diperkuat dengan hadits Nabi Shalallahu
‘alaihi wasalam :
ليس على
المسلم في فرسه وغلامه صدقة
“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang
Muslim pada kudanya dan budaknya.”[1]
Sedangkan Abu Hanifah dan Zufr berpendapat, jika kuda jantan
digembalakan bersama kuda betina, wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan jika
yang digembalakan kuda jantan saja, tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena
tidak dapat berkembang biak. Demikian pula jika yang digembalakan hanya kuda
betina. Ia berhujjah dengan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam : “Seekor
kuda bisa menjadi pahala bagi seorang laki-laki, bisa menjadi perisai dan bisa
menjadi dosa atasnya [dan di dalamnya disebutkan] dan tidak melupakan hak Allah
pada leher dan pungungnya.”[2]
Menurut
Abu Hanifah, hak lehernya adalah zakat.
Adapun
hewan-hewan lain, seperti bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai dan
selainnya, maka tidak ada zakatnya, selama hewan-hewan tersebut tidak untuk
diperdagangkan. Dasarnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam ,”Seekor
kuda bisa menjadi pahala bagi seseorang...” saat ditanya tentang keledai,
beliau menjawab,”Tidak diturunkan padaku tentangnya kecuali ayat yang satu
ini:’Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasannya.” (az-Zalzalah:7)
Syarat-syarat Wajib Zakat pada Hewan Ternak
Ada tiga syarat berkenaan dengan hewan ternak sehingga diwajibkan
untuk dikeluarkan zakatnya :
● Mencapai nishab
● Melewati satu haul berdasarkan hadits :
“Tidak ada kewajiban zakat pada harta hingga genap satu haul.”[3]
● Ternak tersebut digembalakan,
yakni digembalakan di padang rumput bebas hampir sepanjan tahun.
Hewan
ternak terbagi empat macam :
Hewan
ternak (unta, sapi dan kambing) dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :
1.
Hewan ternak yang digembalakan, yaitu digembalakan di padang rumput
bebas hampir sepanjang tahun, serta dipersiapkan untuk diperah susunya dan
dikembang biakkan. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 10.
“Dan sesungguhnya menyuburkan tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat
tumbuhnya) kamu menggebalakan ternakmu.” Ini adalah jenis yang wajib
dikeluarkan zakatnya.
2.
Hewan ternak yang diberi makan. Jika hewan ternak tersebut
dipersiapkan untuk diambil susunya dan dikembangbiakkan, tetapi pemiliknya
membelikan makanannya atau mencari rumput untuknya, maka tidak ada zakatnya.
3.
Hewan ternak yang dipekerjakan. Seperti unta yang disewakan
pemiliknya untuk mengangkut barang-barang dia atas punggungnya dan dikendarai.
Demikian pula seperti sapi yang dipakai untuk membajak dan mengairi tanaman.
Hewan ternak seperti ini tidak ada zaaktnya, menurut jumhur, berbeda dengan
pendapat Malikiyah.
4.
Hewan ternak yang dipersiapkan untuk diperdagangkan. Ini wajib
dikeluarkan zakatnya seperti barang-barang perniagaan lainnya. Adakalanya wajib
mengeluarkan zakat untuk satu ekor unta, jika harganya telah mencapai nishab,
baik digembalakan, diberi makanan maupun dikendarai.
Diringkas dari :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih
Fiqh Sunnah. Jilid 2.
Zakat Harta Karun
Definisi
Ar-rikaz,
menurut bahasa, berasal dari kata ar-Rakz, sesuatu yang terpendam di
perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam. Menurut syar’i, harta
terpendam zaman jahiliyyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja
keras, baik berupa emas, perak maupun selainnya.
Adapun al-Ma’dan, menurut bahasa, berasal dari kata al-‘Adn
yaitu al-Iqamah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’dan-nya. Menurut
syar’i, segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta dalam bumi dari
sesuatu yang lain yang memiliki nilai.
Barang tambang bisa berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan
dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah dan
air raksa. Atau berbentuk cairan, seperti minyak ter dan sejenisnya.
Ketentuan yang Berkaitan dengan Harta Terpendam
Barangsiapa
menemukan harta terpendam, maka ia tidak lepas dari lima kondisi berikut :
1.
Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak
diketahui siapa pemiliknya.
2.
Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau kampung yang
berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka
harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu
menjadi haknya.
3.
Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga
pendapat ulama :
● Harta itu pemilik tanah. (pendapat Abu Hanifah, qiyas dari
pendapat Malik)
● Harta itu milik orang yang menemukannya. (riwayat yang lain dari
Ahmad)
● Jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi
miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang
pertama. (ini adalah madzhab asy-Syafi’i)
4.
Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan
kepemilikan, dengan cara membeli atau selainnya. Dalam hal ini ada dua pendapat
:
● Harta itu milik yang menemukannya di tanah miliknya.
(pendapat tiga imam kecuali asy-Syafi’i).
● Harta itu milik pemilik tanah sebelumnya, jika ia mengklaimnya.
Jika tidak, maka pemilik tanah yang sebelumnya dan seterusnya. Jika tidak diketahui
pemiliknya, maka harta tersebut seperti harta hilang, yaitu luqathah (barang
tercecer).
(ini adalah pendapat asy-Syafi’i).
5.
Ia menemukannya di Dar al-Harb (negeri yang diperangi).
Jika digali bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah
(harta rampasan perang), hukumnya seperti hukum gahnimah.
Apakah Barang Tambang Termasuk dalam Hukum Rikaz?
1.
Imam Malik dalam salah satu dari dua riwayatnya dan asy-Syafi’i
dalam pendapatnya yang kedua berpendapat, tidak ada kewajiban apa-apa pada
barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).
2.
Jumhur ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam
jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, emas, timah... dan minyak bumi,
seperti rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih
tentang kadar zakatnya.
Inilah pendapat yang rajih, berdasarkan keumuman firman Allah
Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (al-Baqarah : 267)
Nishab dan Zakat hasil tambang
Hasil tambang berupa emas, perak dan sebagainya apabila sampai
memenuhi nishab sebagaimana nishab emas dan perak maka harus dikeluarkan
zakatnya seketika itu juga, tidak usah menunggu satu tahun. Adapun zakatnya
adalah sebesar 2,5%.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, Abu ‘Ubaid dan selainnya
berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima (20%) dari barang tambang seperti
harta rikaz. Sementara jumhur berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh (1/40
= 2,5%), diqiyaskan dengan emas dan perak. Sebab perselisihan ini adalah
perbedaan tentang makna rikaz (harta terpendam), apakah barang tambang termasuk
dalam kategorinya ataukah tidak?
Sebagian ahli fiqih membedakanya : jika hasil yang didapat banyak, jika
dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wjib dikeluarkan seperlimanya (1/5).
Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka
wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (1/40).
Mengeluarkan Harganya Sebagai Pengganti Barang yang wajib
Dikeluarkan Zakatnya?
Para
ulama dalam hal mengeluarkan harga dari barang-barang zakat terbagi menjadi dua
pendapat :
1.
Hal itu tidak boleh.
Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i, Ahmad dan Dawud.
2.
Boleh mengeluarkan harganya.
Ini adalah madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri, zhahir pendapat
al-Bukhari, satu apsek dalam madzhab asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad. waallahu
a’lam.
Referensi :
Abu Malik Kamal ibnu Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. Jilid
2.
Zakat Barang Perniagaan
Barang-barang perniagaan ialah segala sesuatu selain naqdain (emas
dan perak) berupa barang. Properti, berbagai jenis barang dan hewan, tanaman,
pakaian, perhiasan dan lain-lain yang dipersiapkan untuk diperdagangkan.
Sebagian ulama mendefinisikan sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk
diperjual belikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hukum Zakat pada Barang-barang Perniagaan
Pendapat
Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perniagaan. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Sebagian dari mereka menuturkan, hal ini adalah ijma’
sahabat dan tabi’in. Namun, pendapat ini perlu dikoreksi karena adanya
perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah lama berlangsung, sebagaimana
disebutkan oleh asy-Syafi’i dan selainnya.
Pendapat
Kedua : Tidak wajib zakat pada barang-barang perniagaan. Ini adalah madzhab
Zhahiriyyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti asy-Syaukani, Shiddiq
Khan kemudian al-Albani.
Abu
Malik bin Sayyid Salim menyatakan namun, pendapat jumhurlah pendapat yang
benar. Wallahu a’lam.
Syarat-syarat Zakat pada Harta Perniagaan :
1.
Barang-barang ini bukan termasuk barang wajib dikeluarkan zakatnya
pada asalnya, seperti hewan ternak, emas, perak dan sejenisnya.
Karena tidak terkumpul dua zakat, menurut ijma’. Tetapi ia wajib
mengeluarkan zakat benda itu berdasarkan pendapat yang rajih karena zakat benda
lebih kuat dalilnya dari pada zakat perdagangan karena telah terjadi ijma’ atas
hal itu. Barangsiapa memperdagangkan baran-barang di bawah nishab benda
tersebut, maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[1]
2.
Mencapai nishab, yaitu nishab uang (85 gram emas)
3.
Telah berlalu padanya satu haul.
Adapun
syarat untuk barang-barang perdagangan, ada 2 :
1.
Dimiliki dengan perbuatan seseorang, misalnya dengan cara jual
beli,sewa dan lainnya. Dengan kata lain, dimiliki dengan akad yang mengharuskan
kompensasi.
2.
Pada saat memiliki barang tersebut diniatkan untuk barang
perdagangkan. Bila pada saat dimiliki tidak dinaitkan untuk diperdagangkan,
barang tersebut bukan barang dagangan meski baru diniatkan setelahnya.[2]
Kapan Dihitung Nishab pada Harta Perniagaan?
Mengenai waktu perhitungan nishab harta pernaigaan nishab harta
perniagaan ada tiga pendapat :
● Pada akhir haul (ini pendapat Malik dan asy-Syafi’i).
● Di sepanjang haul, dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang
dari nishabnya sesaat saja, maka terputuslah haul itu (madzhab jumhur).
● Pada awal haul dan di akhirnya, bukan ditengahnya (madzhab Abu
Hanifah).
Contoh :
Pada
awal tahun, seseorang pedagang memulai berdagang dengan modal Rp. 50.000.000
yang begerak di bidang perabotan rumah.
Pada
pertengahan tahun, yang bersangkutan menghitung modalnya dan jumlahnya menyusut
menjadi Rp. 20.000.000.
Kemudian
pada akhir tahun, uangnya mencapai Rp.
100.000.000.
Maka,
saat itu ia wajib zakat, karena di awal tahun ia memulai usaha dengan modal
sebesa Rp. 50.000.000. Jumlah ini telah mencapai nishab syar’i.
Kemudian
pada akhir tahun, jumlah uangnya menjadi Rp. 100.000.000. Jumlah ini juga telah
mencapai nishab syar’i meski dipertengahan tahun mengalami penyusutan.
Penyusutan di paruh tahun ini tidak menjadi ukuran.
Jadi,
besar zakat yang wajib ia keluarkan adalah :
Rp.
100.000.000 / 40 = Rp. 2.500.000.
Referensi :
Ibnu Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. Shahih Fiqh Sunnah.Mesir
: Maktabah At-Taufikiyyah. Jilid 2.
Uqaily, Ali Mahmud. Praktis &
Mudah Menghitung Zakat. Solo : Aqwam.
Subscribe to:
Posts (Atom)